Beranda | Artikel
Sirah Nabi 21 - Proses Turunnya Wahyu Pertama Kali
Kamis, 17 Januari 2019

Proses Turunnya Wahyu

Wahyu pertama kali turun kepada Nabi ﷺ melalui mimpi. Sebelumnya, Rasūlullāh ﷺ suka berkhalwat (menyepi di goa), sebagaimana disebutkan dalam hadits, Dari ‘Āisyah radhiyallāhu Ta’āla ‘anhā[1], beliau mengatakan:

أَوَّلُ مَا بُدِئَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الوَحْيِ الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ فِي النَّوْمِ، فَكَانَ لاَ يَرَى رُؤْيَا إِلَّا جَاءَتْ مِثْلَ فَلَقِ الصُّبْحِ

“Wahyu pertama kali turun kepada Rasulullah ﷺ dalam bentuk mimpi yang benar tatkala tidur. Dan tidaklah Rasūlullāh ﷺ bermimimpi kecuali mimpi tersebut datang seperti cahaya shubuh (sangat jelas).”

Ada orang yang mimpinya tidak jelas, seperti main-main, kadang seperti tiba-tiba berpindah dari satu kota ke kota lainnya dengan tiba-tiba, atau ketidak jelasan lainnya. Adapun mimpi Nabi sangatlah jelas. Kata para ulama, ini adalah hikmah dari Allāh Subhānahu wa Ta’āla bahwa Allāh tidak menjadikan Nabi ﷺ langsung bertemu dengan malaikat, akan tetapi diberi muqaddimah dengan datangnya mimpi agar Beliau siap untuk menerima wahyu dalam bentuk datangnya malaikat Jibrīl ‘alayhissalām.

Sebagai pendahuluan bagi Nabi untuk bertemu dengan malaikat Jibril yang akan menyampaikan wahyu, Allah menjadikan Nabi mengalami beberapa keajaiban-keajaiban, diantaranya :

(1). Rasūlullāh ﷺ mendengar batu memberi salam kepada Beliau. Sebagaimana dalam hadits :

عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنِّيْ َلأَعْرِفُ حَجَرًا بِمَكَّةَ كَانَ يُسَلِّمُ عَلَيَّ قَبْلَ أَنْ أُبْعَثَ إِنِّيْ َلأَعْرِفُهُ الآنَ

Dari sahabat Jabîr bin Samrah, ia berkata bahwa Rasūlullāh ﷺ telah bersabda: “Sesungguhnya aku mengetahui sebuah batu di Mekah memberi salam kepadaku sebelum aku diangkat menjadi nabi. Sesungguhnya aku mengetahuinya sampai sekarang” (HR. Muslim no 2277)

(2). Dibelahnya dada Rasūlullāh ﷺ ketika masih kecil oleh 2 malaikat, yaitu malaikat Jibrīl dan malaikat yang lain. Mereka menelentangkan Nabi kemudian membelah dada dan mengambil jantung Nabi kemudian membersihkannya. Tentunya Nabi sangat kaget dan ketakutan ketika ditangkap dan ditahan oleh 2 malaikat yang hendak membelah dadanya.

(3). Ru’yah shālihah, yaitu Rasūlullāh ﷺ selalu bermimpi selama 6 bulan, dimana mimpi tersebut benar-benar terjadi. Seringnya Rasūlullāh ﷺ bermimpi membuat beliau ingin berkhalwat. Beliau ingin mengenal Allāh Subhānahu wa Ta’āla lebih dekat. Beliau kemudian berkhalwat dan bertahannuts (beribadah) di Gua Hirā.

‘Aisyah melanjutkan tuturannya:

ثُمَّ حُبِّبَ إِلَيْهِ الخَلاَءُ، وَكَانَ يَخْلُو بِغَارِ حِرَاءٍ فَيَتَحَنَّثُ فِيهِ – وَهُوَ التَّعَبُّدُ – اللَّيَالِيَ ذَوَاتِ العَدَدِ قَبْلَ أَنْ يَنْزِعَ إِلَى أَهْلِهِ، وَيَتَزَوَّدُ لِذَلِكَ، ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى خَدِيجَةَ فَيَتَزَوَّدُ لِمِثْلِهَا، حَتَّى جَاءَهُ الحَقُّ وَهُوَ فِي غَارِ حِرَاءٍ

“Kemudian Nabi dijadikan Allāh menyukai berkhalwat, Beliau ﷺ pergi ke Gua Hirā dan beribadah di sana beberapa malam sebelum ia kembali ke istrinya (Khadijah). Ia membawa bekal untuk berkholwat, kemudia beliau kembali lagi ke Khadijah lalu menyiapkan bekal seperti itu lagi. Sampai datangnya malaikat Jibrīl dan Beliau berada didalam Gua Hirā.”

Demikianlah kegiatan Nabi ﷺ, beliau berbekal untuk pergi ke gua Hira’ dan jika bekal beliau habis setelah beberapa malam maka Rasūlullāh ﷺ turun untuk mengambil lagi makanan dari istrinya Khadījah dan kembali lagi ke gua Hira’

Sebelum datang malaikat Jibrīl, ‘Aisyah mengatakan bahwa Rasūlullāh ﷺ beribadah di Gua Hira. Para ulama khilaf, apa yang dilakukan Nabi di Gua Hirā. Ada banyak pendapat, diantaranya;

  • Ada yang mengatakan bahwa Rasūlullāh ﷺ beribadah seperti ibadahnya Nabi Ibrāhīm ‘alayhissalām. Walau akhirnya menimbulkan pertanyaan[2], dari mana Nabi ﷺ mengetahui ibadahnya Nabi Ibrāhīm ‘alayhissalām.
  • Dalam suatu riwayat, disebutkan bahwa ibadah yang dilakukan Rasūlullāh ﷺ adalah memberi makan kepada faqir miskin
  • Ada pula yang mengatakan bahwa Rasūlullāh ﷺ beribadah dengan tafakkur, memikirkan keagungan penciptaan alam semesta.
  • Ada yang mengatakan bahwa ibadah Nabi dengan berkhalwat maksudnya adalah meninggalkan kemaksiatan. Karena Mekkah ketika itu dalam keadaan rusak. Dan kita tahu bahwasanya dari Gua Hirā Ka’bah dapat dilihat secara langsung, begitupun dengan kondisi Mekkah, seakan-akan Nabi duduk termenung disitu melihat bagaimana rusaknya kota Mekkah dan Beliau ﷺ menjauh. Menjauhnya seseorang dari kemaksiatan itu adalah ibadah tersendiri. Oleh karenaitu, Nabi Ibrāhīm ‘alayhissalām tatkala meninggalkan kaumnya yang musyrik maka beliau berkata:

    إِنِّي ذَاهِبٌ إِلَىٰ رَبِّي

    “Aku ingin pergi kepada Rabbku.” (Ash-Shāffāt 99)

    Wallāhu a’lam bishshawāb, ibadah seperti apakah yang dilakukan oleh Rasūlullāh ﷺ saat beliau berkhalwat, sampai akhirnya datanglah malaikat Jibrīl menurunkan wahyu kepada Nabi ﷺ.

Nabi ﷺ ketika diangkat menjadi Rasul merupakan pilihan Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman dalam banyak ayat diantaranya:

اللَّهُ يَصْطَفِي مِنَ الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا وَمِنَ النَّاسِ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ

“Allāh memilih utusan-utusan-(Nya) dari malaikat dan darip manusia. Sesungguhnya Allāh adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Al-Hajj 75)

Jadi, kerasulan itu adalah isthifaa’ (pilihan), bukan suatu perkara yang bisa diusahakan atau diupayakan. Tidak sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ahli filsafat -seperti Ibnu Sina- yang berpendapat bahwasanya “Kenabian adalah perkara yang bisa diusahakan.”[3] Seseorang jika ingin menjadi Nabi maka pergi berkhalwat, duduk kemudian merenungkan, menghilangkan segala urusan dunia kemudian bisa menjadi Nabi. Melatih diri hingga akhirnya meningkat dan bisa berhubungan dengan malaikat, dan seterusnya[4].

Allāh ﷻ lah yang memilih Nabi ﷺ. Adapun proses Nabi berkhalwat maka itu hanya kebetulan, karena memang Nabi tidak berniat untuk menjadi Nabi. Bahkan tatkala datang malaikat Jibril Nabi pun kaget, dan khawatir akan tertimpa suatu kemudhratan pada dirinya. Dia tidak sadar bahwa itu adalah malaikat kecuali setelah dijelaskan oleh Waraqah bin Naufal. Apabila kita perhatikan, Nabi-nabi sebelum Rasūlullāh ﷺ, tidak ada yang memperoleh kenabian melalui cara khalwat. Misalnya, Nabi Yahya ‘alaihis salam beliau sejak dari kecil sudah diangkat menjadi Nabi. Demikian juga Nabi Yusuf, Nabi Musa, dan seluruh Nabi tidak ada yang berusaha untuk melakukan sesuatu agar menjadi Nabi, akan tetapi Allah-lah yang memilih mereka untuk menjadi para nabi.

‘Aisyah melanjutkan tuturannya :

فَجَاءَهُ المَلَكُ فِيهِ، فَقَالَ: اقْرَأْ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” فَقُلْتُ: مَا أَنَا بِقَارِئٍ، فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي حَتَّى بَلَغَ مِنِّي الجَهْدُ، ثُمَّ أَرْسَلَنِي فَقَالَ: اقْرَأْ، فَقُلْتُ: مَا أَنَا بِقَارِئٍ، فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي الثَّانِيَةَ حَتَّى بَلَغَ مِنِّي الجَهْدُ، ثُمَّ أَرْسَلَنِي فَقَالَ: اقْرَأْ، فَقُلْتُ: مَا أَنَا بِقَارِئٍ، فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي الثَّالِثَةَ حَتَّى بَلَغَ مِنِّي الجَهْدُ، ثُمَّ أَرْسَلَنِي فَقَالَ: {اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ} [العلق: 1]- حَتَّى بَلَغَ – {عَلَّمَ الإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ} [العلق: 5]

Maka malaikat (Jibril) mendatanginya di gua Hira’, lalu berkata; “Bacalah!”. Nabi ﷺ menjawab: “Saya sungguh tidak bisa membaca.” Beliau menuturkan: “Lalu ia memegangku dan mendekapku hingga aku sangat kepayahan. Kemudian ia melepaskanku dan berkata; “Bacalah!”. Aku berkata; “Sungguh aku tidak bisa membaca.” Lalu ia memegangku dan memelukku kembali untuk yang kedua kalinya hingga aku sangat kepayahan. Kemudian ia melepaskanku lalu berkata; “Bacalah!”. Aku kembali menjawab; “Sungguh aku tidak bisa membaca.” Ia pun memegangku dan mendekapku dengan erat untuk yang ketiga kalinya hingga aku pun sangat kepayahan. Kemudian ia melepaskanku lalu berkata;

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ

(bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan) sampai kepada ayat)

عَلَّمَ الإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ

(Dia mengajarkan manusia apa yang tidak manusia ketahui).”

(Kata para ulama, Nabi ﷺ tidak mengatakan:

“لَمْ أَقْرَأْ”

tetapi

” مَا أَنَا بِقَارِئٍ “

yang artinya

لَسْتُ بِقَارِئٍ الْبَتَّةَ

“Saya tidak bisa baca sama sekali” (Fathul Baari 1/24). Ini artinya bahwa Rasūlullāh ﷺ adalah Nabi yang ummi (tidak bisa baca tulis). Dalam surat Al-A’raf Allāh menyebutkan bahwa Nabi ﷺ adalah Nabi yang ummi (tidak bisa baca dan tulis).

قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ لا إِلَهَ إِلا هُوَ يُحْيِي وَيُمِيتُ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الأمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

“Katakanlah: “Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk“. (QS Al-A’raf 157)

Adapun hikmahnya Nabi adalah seorang yang ummi (tidak bisa baca dan tulis) yaitu untuk semakin mengokohkan bahwa al-Qur’an itu bukan karangan Nabi. Karena jika Nabi bisa membaca dan menulis, niscaya orang-orang Quraisy akan menuduh bahwa Nabi menyusun al-Qur’an dari bacaan-bacaan yang ia baca sebelumnya. Allah berfirman:

وَمَا كُنْتَ تَتْلُو مِنْ قَبْلِهِ مِنْ كِتَابٍ وَلَا تَخُطُّهُ بِيَمِينِكَ إِذًا لَارْتَابَ الْمُبْطِلُونَ

Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al Quran) satu Kitab pun dan kamu tidak (pernah) menulis pula satu Kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari (kamu). (QS Al-‘Ankabuut : 48)

Perlu diperhatikan, bahwa Gua Hirā adalah tempat bersejarah, bukan tempat untuk mencari keberkahan. Oleh karena itu, tidak pernah diriwayatkan Nabi ﷺ kembali lagi ke Guā Hirā setelah menjadi Nabi, dan tidak pula pernah diriwayatkan bahwa seorang shahābat atau tabi’in mencari keberkahan atau beribadah di sana. Jika Gua Hira itu memiliki keberkahan, niscaya mereka akan berbondong-bondong ke sana. Tetapi jika sekedar hanya ingin mengetahui sejarah, bagaimana dahulu susahnya Nabi ﷺ ketika berkhalwat, susahnya Nabi mendaki hingga ke Gua Hiraa’ maka hal ini tidak mengapa. Oleh karena itu, Al-Hāfizh Ibnu Katsīr ‘alayhissalām dalam tafsirnya mengatakan tentang gua Ashabul Kahfi, bahwa kita tidak perlu mencari tahu dimana posisi Gua tersebut, karena Allāh tidak menyebutkan letaknya. Seandainya mengetahui lokasi Gua Ashabul Kahfi itu bermanfaat niscaya Allāh akan menyebutkannya atau Nabi yang akan menyebutkannya. Ketika Allah dan Nabi tidak menyebutkan dimana lokasinya, menunjukkan hal tersebut tidak bermanfaat.

‘Aisyah melanjutkan tuturannya :

فَرَجَعَ بِهَا تَرْجُفُ بَوَادِرُهُ، حَتَّى دَخَلَ عَلَى خَدِيجَةَ، فَقَالَ: «زَمِّلُونِي زَمِّلُونِي» فَزَمَّلُوهُ حَتَّى ذَهَبَ عَنْهُ الرَّوْعُ، فَقَالَ: «يَا خَدِيجَةُ، مَا لِي» وَأَخْبَرَهَا الخَبَرَ، وَقَالَ: «قَدْ خَشِيتُ عَلَى نَفْسِي» فَقَالَتْ لَهُ: كَلَّا، أَبْشِرْ، فَوَاللَّهِ لاَ يُخْزِيكَ اللَّهُ أَبَدًا، إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ، وَتَصْدُقُ الحَدِيثَ، وَتَحْمِلُ الكَلَّ، وَتَقْرِي الضَّيْفَ، وَتُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الحَقِّ، ثُمَّ انْطَلَقَتْ بِهِ خَدِيجَةُ حَتَّى أَتَتْ بِهِ وَرَقَةَ بْنَ نَوْفَلِ بْنِ أَسَدِ بْنِ عَبْدِ العُزَّى بْنِ قُصَيٍّ وَهُوَ ابْنُ عَمِّ خَدِيجَةَ أَخُو أَبِيهَا، وَكَانَ امْرَأً تَنَصَّرَ فِي الجَاهِلِيَّةِ، وَكَانَ يَكْتُبُ الكِتَابَ العَرَبِيَّ، فَيَكْتُبُ بِالعَرَبِيَّةِ مِنَ الإِنْجِيلِ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكْتُبَ، وَكَانَ شَيْخًا كَبِيرًا قَدْ عَمِيَ، فَقَالَتْ لَهُ خَدِيجَةُ: أَيِ ابْنَ عَمِّ، اسْمَعْ مِنَ ابْنِ أَخِيكَ، فَقَالَ وَرَقَةُ: ابْنَ أَخِي مَاذَا تَرَى؟ فَأَخْبَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا رَأَى، فَقَالَ وَرَقَةُ: هَذَا النَّامُوسُ الَّذِي أُنْزِلَ عَلَى مُوسَى، يَا لَيْتَنِي فِيهَا جَذَعًا، أَكُونُ حَيًّا حِينَ يُخْرِجُكَ قَوْمُكَ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَوَمُخْرِجِيَّ هُمْ» فَقَالَ وَرَقَةُ: نَعَمْ، لَمْ يَأْتِ رَجُلٌ قَطُّ بِمِثْلِ مَا جِئْتَ بِهِ إِلَّا عُودِيَ، وَإِنْ يُدْرِكْنِي يَوْمُكَ أَنْصُرْكَ نَصْرًا مُؤَزَّرًا، ثُمَّ لَمْ يَنْشَبْ وَرَقَةُ أَنْ تُوُفِّيَ

“Lalu beliau kembali dalam keadaan bergetar[5]. Tatkala ia bertemu dengan Khadijah, beliau berkata; “Selimuitlah aku, selimutilah aku.” Ia pun menyelimutinya hingga hilang rasa takutnya, beliau bersabda: “Wahai Aisyah, apa yang terjadi kepadaku?.” Lalu Nabi menceritakan kisahnya kepada Khadijah. Nabi berkata: “Saya khawatir keburukan akan menimpa diriku.” Khadijah berkata kepadanya; “Sekali-kali tidak, bergembiralah, Demi Allah, Allah tidak akan pernah menghinakanmu selamanya! Karena engkau senantiasa menyambung tali silaturahmi, berkata jujur, membantu orang yang tidak mampu, memuliakan tamu, dan membantu orang yang terkena musibah.” Lalu Khadijah membawa Nabi pergi ke Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdil Uzza bin Qushai, dia adalah anak pamannya Khadijah, yaitu anak saudara laki-laki bapaknya Khadijah. Waraqah adalah seseorang yang telah masuk agama nashrani tatkala di zaman jahiliyah. Ia bisa menulis kitab dengan bahasa Arab dan ia pun menulis Injil dengan bahasa Arab sedapatnya. Ia adalah seorang kakek yang sudah tua dan buta.

Khadijah lalu berkata kepada Waraqah; “Wahai anak pamanku, dengarkanlah berita dari putra saudaramu !”. Waraqah berkata kepada Nabi; “Wahai putra saudaraku, apa yang kamu lihat?” Lalu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengabarkan kepadanya apa yang telah dilihatnya. Maka Waraqah berkata; “Ini adalah An-Naamuus (pembawa berita rahasia yaitu Jibril-pen) seperti yang diturunkan (oleh Allah) kepada Musa ‘alaihis salam. Aduhai, seandainya tatkala itu aku masih sangat muda, aku masih hidup tatkala kaummu mengusirmu.” Rasululah shallallahu’alaihi wa sallam bertanya: “Apakah mereka akan mengusirku?” Waraqah berkata; “Ya, tidak ada seorang lelakipun yang datang dengan membawa apa yang engkau bawa kecuali akan dimusuhi. Kalaulah harimu (tatkala engkau diusir) menjumpaiku pasti aku akan menolongmu dengan pertolongan yang kuat”. Lalu tidak lama kemudian Waraqah pun meninggal.”

Rasūlullāh ﷺ melihat malaikat Jibrīl dalam bentuk aslinya sebanyak 2 kali, saat Isra Mirāj dan saat malaikat Jibrīl berada di antara langit dan bumi sambil membentangkan 600 buah sayap yang menutupi seluruh cakrawala.

Adapun saat di Gua Hirā, malaikat Jibrīl berwujud seorang lelaki, yang tiba-tiba datang lalu berkata “Hai Muhammad, bacalah”. Sebagian ulama seperti Ibnu Hajar dan yang lainnya mengatakan, bahwa ada riwayat yang menyatakan bahwa malaikat tersebut membawa sebuah tulisan yang terbuat dari semacam kain sutera bertuliskan surat Al-‘Alaq ayat 1-5. Lalu malaikat Jibrīl memegang Nabi ﷺ kemudian memeluknya sampai Beliau dalam kondisi payah dan susah bernafas kemudian melepaskannya dan berkata: “Bacalah”. Kata Nabi ﷺ: “Aku benar-benar tidak bisa baca.” Kemudian Rasūlullāh ﷺ dipeluk lagi sampai sesak sampai 3 kali, setelah 3 kali barulah Beliau ditalqin oleh malaikat Jibrīl surat Al-‘Alaq ayat 1-5.

Rasūlullāh ﷺ adalah seorang yang sangat fasih, dimana saat kecil Beliau di rawat di Bani Sa’ad di Thāif oleh ibu susuan beliau yaitu Halimah As-Sa’diyyah. Kata para ulama hikmahnya Rasūlullāh ﷺ dijauhkan dari kota Mekkah adalah karena kota Mekkah banyak orang asing yang masuk ke sana, ada orang Persia, Habasyah dan lainnya sehingga dikhawatirkan bahasa yang dipelajari Nabi bukan bahasa Arab fasih. Oleh karena itu, kebiasaan orang-orang adalah membiarkan anak-anak mereka tinggal di perkampungan (di Bādiyyah), termasuk Rasulullah ﷺ. Sehingga Rasūlullāh ﷺ menjadi seorang yang bahasa Arabnya sangat fasih dan indah ,serta mengetahui bagaimana balaghah bahasa Arab.

Saat mendengar firman Allāh surat Al-‘Alaq ayat 1-5, Beliau tahu ini bukanlah perkataan biasa, ini adalah perkataan yang menakjubkan dari susunan balaghah dan tata bahasanya. Kemudian isi dari kalimat tersebut yaitu “Bacalah dengan menyebut nama Rabbmu”. Nabi ﷺ berkhalwat dalam rangka ingin mengenal Rabbnya, akhirnya datanglah yang dicari selama ini. Ternyata malaikat Jibrīl datang membawa perkara tentang Tuhan, sehingga menimbulkan pertanyaan dalam hati Beliau ﷺ.

Disebutkan oleh para ulama, kenapa malaikat memeluk Nabi ﷺ kemudian melepaskannya sampai 3 kali? Sebagian ulama mengatakan yaitu agar Nabi ﷺ sadar bahwasanya beliau sedang tidak tidur, tapi terjaga. Karena sebelumnya Beliau selalu mimpi (ru’yah shālihah). Tetapi sekarang yang terjadi di hadapan Beliau adalah kenyataan dan bukan mimpi.

Akhirnya malaikat Jibrīl pergi dan Rasūlullāh ﷺ segera pulang kepada istrinya dalam kondisi gemetar hebat, beliau ketakutan keluar hingga berkeringat dingin. Beliau ﷺ  berkata: “Selimuti aku”. Khadījah pun menyelimuti suaminya dan tidak bertanya apapun, namun langsung menyelimuti suaminya. Seperti kita tahu, Khadījah hidup 25 tahun bersama Rasūlullāh ﷺ tidak pernah mengangkat dan meninggikan suaranya kepada suaminya, seluruh waktunya beliau gunakan untuk berkhidmat kepada Nabi ﷺ. Betapa Khadijah menunjukkan rasa sayang dan sangat cintanya beliau kepada suaminya.

Nabi pun diselimuti oleh Khadījah sampai rasa takut Rasūlullāh ﷺ mereda. Beliau berbicara kepada Khadījah dan menceritakan apa yang terjadi. Setelah menceritakan, Beliau berkata: “Wahai istriku, aku takut sesuatu menimpa diriku.”

Ada yang mengatakan Rasūlullāh ﷺ takut gila karena kejadian aneh yang Beliau alami[6]. Saat itulah peran seorang istri datang. Khadījah berkata kepada Nabi ﷺ: “Sekali kali tidak, engkau tidak perlu takut sesuatu. Allāh tidak akan menghinakan engkau selamanya. Engkau senantiasa menyambung silaturrahmi, membantu orang yang tidak mampu, menjamu tamu, membantu orang yang terkena musibah.”[7] Khadījah ingin lebih menenangkan suaminya lagi dengan membawanya kepada Waraqah bin Naufal, sepupu Khadījah.

Dalam hadits disebutkan bahwa Waraqah itu beragama Nashrani. Nabi Muhammad ﷺ mendapat wahyu sekitar tahun 700 Masehi, sehingga jarak antara Nabi ‘Īsā ‘alayhissalām dengan Nabi Muhammad selama kurang lebih 700 tahun. Di dalam Al-Qurān disebutkan:

وَمُبَشِّرًا بِرَسُولٍ يَأْتِي مِن بَعْدِي اسْمُهُ أَحْمَدُ.

“…Dan (aku) memberi kabar gembira akan datang Rasul setelahku bernama Ahmad.” (QS As-Shaff : 6)

Waraqah bin Naufal di zaman Jahiliyyah beragama Nasrani. Namun termasuk Nasrani yang masih asli (lurus) dan masih bertauhid. Adapun agama Nasrani sekarang telah banyak perubahan, dan kitab Injīl pun juga banyak mengalami tahrif (perubahan). Mereka terjerumus dan terpengaruh kepada penyembahan kepada berhala dan manusia.

Waraqah bisa menulis dengan bahasa Ibrani, bahkan dia menyalin Injīl dengan bahasa Ibrani. Saat itu dia sudah tua dan buta. Kemudian Khadījah berkata kepada Waraqah, “Wahai anak pamanku, dengarkanlah dari pembicaraan anak saudaramu (yaitu Muhammad ﷺ).” Maka Waraqah berkata kepada Muhammad ﷺ, “Wahai anak saudaraku, apa yang terjadi?” Rasūlullāh ﷺ pun menceritakan tentang apa yang terjadi pada dirinya. Lalu Waraqah berkata: “Ini adalah pembawa kabar rahasia yang Allāh turunkan kepada Nabi Mūsā.”

Kapan Turunnya Wahyu

Para ulama berselisih pendapat mengenai kapan turunnya wahyu dari malaikat Jibrīl kepada Rasūlullāh ﷺ. Namun ulama bersepakat bahwasanya hari turunnya adalah hari Senin. Pada pembahasan yang lalu, telah disebutkan hadits ketika Rasūlullāh ﷺ ditanya, “Kenapa engkau berpuasa pada hari Senin?” beliau ﷺ menjawab, “Karena hari Senin adalah hari dimana saya dilahirkan dan hari dimana Allāh menurunkan wahyu kepadaku.” Namun mengenai bulan dan tanggal tepatnya, maka terjadi silang pendapat.

Ibnul Qayyim ‘alayhissalām berkata,

وَلَا خِلَافَ أَنَّ مَبْعَثَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ، وَاخْتُلِفَ فِي شَهْرِ الْمَبْعَثِ. فَقِيلَ: لِثَمَانٍ مَضَيْنَ مِنْ رَبِيعٍ الْأَوَّلِ سَنَةَ إِحْدَى وَأَرْبَعِينَ مِنْ عَامِ الْفِيلِ، هَذَا قَوْلُ الْأَكْثَرِينَ، وَقِيلَ: بَلْ كَانَ ذَلِكَ فِي رَمَضَانَ، وَاحْتَجَّ هَؤُلَاءِ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: { شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ } قَالُوا: أَوَّلُ مَا أَكْرَمَهُ اللَّهُ تَعَالَى بِنُبُوَّتِهِ أَنْزَلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنَ، وَإِلَى هَذَا ذَهَبَ جَمَاعَةٌ … وَالْأَوَّلُونَ قَالُوا: إِنَّمَا كَانَ إِنْزَالُ الْقُرْآنِ فِي رَمَضَانَ جُمْلَةً وَاحِدَةً فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ إِلَى بَيْتِ الْعِزَّةِ، ثُمَّ أُنْزِلَ مُنَجَّمًا بِحَسَبِ الْوَقَائِعِ فِي ثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ سَنَةً…. وَقِيلَ: كَانَ ابْتِدَاءُ الْمَبْعَثِ فِي شَهْرِ رَجَبٍ

“Tidak ada khilaf bahwa diutusnya Nabi (yaitu hari diturunkan wahyu kepada beliau) adalah hari senin. Namun terjadi perselisihan pada bulan apa? Dikatakan bahwa wahyu turun tanggal 8 Rabi’ul Awwal tahun 41 dari tahun gajah, dan ini adalah pendapat mayoritas. Dan dikatakan pula bahwa wahyu turun di bulan Ramadhan, mereka berdalil dengan firman Allah

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ

“Bulan Ramadhan yang diturunkan padanya al-Qur’an” (QS Al-Baqarah : 185)

Mereka berkata, “Begitu Allah memuliakan Nabi dengan kenabian maka Allah turunkan kepadanya al-Qur’an”. Dan ini pendapat sekelompok ulama.

Kelompok yang pertama mengatakan bahwa turunnya al-Qur’an di bulan Ramadhan maksudnya adalah turunnya al-Qur’an secara keseluruhan di malam Lailatul Qadar dan Baitul ‘Izzah, lalu diturunkan sedikit demi sedikit berdasarkan peristiwa-peristiwa dalam waktu 23 tahun. Dikatakan juga bahwa permulaan turunnya wahyu adalah di bulan Rajab.” (Zaadul Ma’ad, 1/77-78)

Ibnu Hajar berkata :

وَحَكَى الْبَيْهَقِيُّ أَنَّ مُدَّةَ الرُّؤْيَا كَانَتْ سِتَّةَ أَشْهُرٍ وَعَلَى هَذَا فَابْتِدَاءُ النُّبُوَّةِ بِالرُّؤْيَا وَقَعَ مِنْ شَهْرِ مَوْلِدِهِ وَهُوَ رَبِيعٌ الْأَوَّلُ بَعْدَ إِكْمَالِهِ أَرْبَعِينَ سَنَةً وَابْتِدَاءُ وَحْيِ الْيَقَظَةِ وَقَعَ فِي رَمَضَانَ

“Al-Baihaqi menghikayatkan bahwa masa Nabi bermimipi wahyu adalah selama 6 bulan. Jika demikian, permulaan kenabian dengan mimpi terjadi pada bulan kelahiran beliau yaitu Rabi’ul Awwal ketika beliau persis berumur 40 tahun, dan permulaan wahyu dalam keadaan sadar (tidak tidur) terjadi di bulan Ramadhan.” (Fathul Baari 1/27)

Jika tentang bulan turunnya wahyu diperselisihkan (antara Rabi’ul Awwal atau Rajab atau Ramadhan) maka mengenai tanggalnya lebih tidak jelas lagi dan tidak ada dalil yang kuat. Dengan demikian peringatan turunnya al-Qur’an pada tanggal 17 Ramadhan tentu tidak ada dalilnya sama sekali. Bahkan jika kita berpatokan bahwa al-Qur’an turun di bulan Ramadhan di malam Lailatul Qadar maka seharusnya al-Qur’an turun di 10 malam yang terakhir.

Pelajaran yang bisa dipetik dari kisah ini :

Pertama : Nabi ﷺ tidak mencari wahyu sebagaimana yang diklaim oleh Ibnu Sina bahwasanya kenabian adalah perkara yang bisa dicari. Seandainya Nabi ﷺ mencari wahyu, tentunya ini adalah momen yang ditunggu-tunggu oleh beliau. Tetapi Nabi ﷺ ketika didatangi malaikat, beliau malah ketakutan. Nabi memang tidak mencari wahyu dan tidak menduga kalau dirinya akan dijadikan seorang Rasul meskipun Beliau telah mengalami hal-hal yang menakjubkan, seperti batu memberi salam kepada Beliau, jantung Beliau dibuka dan dibelah, dan mimpi-mimpi yang selalu terbukti dan terjadi.

Kedua : Pentingnya memiliki istri yang shālihah. Lihatlah bagaimana peran Khadījah radhiyallāhu Ta’āla ‘anhā. Seorang suami tatkala mendapat masalah maka seorang istri berusaha menenangkan suaminya. Peran Khadījah luar biasa kepada Nabi, mendengarkan keluh kesah suaminya, bahkan membawanya ke Waraqah bin Naufal, salah seorang yang shālih, untuk menjelaskan kondisi Nabi ﷺ.

Para dokter mengatakan, apabila ada orang dalam keadaan bersedih dan dia tidak mampu memikul beban itu, maka boleh diungkapkan, tetapi tidak kepada setiap orang. Seharusnya, yang paling utama dan pertama adalah, hendaknya dia menyampaikan keluh kesahnya kepada Allāh, sebagaimana perkataan Ya’qub ‘alayhissalām (bapaknya Nabi Yūsuf):

إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ

“Sesungguhnya aku hanya mengeluhkan kesedihanku kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.” (QS Yūsuf : 85)

Oleh karena itu, hendaknya yang pertama dan utama adalah kita mengeluhkan segala kesulitan kita kepada Rabbul ‘ālamīn, baik melalui shalat kemudian berdo’a kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla ataupun amal Shalih lainnnya. Setelah itu tidak masalah jika kita pergi ke sebagian orang untuk mencari solusi. Sebagaimana Nabi mengeluhkan kepada istrinya. Karenanya memiliki istri shālihah dan pengertian adalah hal yang sangat indah, bisa mengurangi beban suaminya. Ini juga diantara tanda cerdasnya Khadījah radhiyallāhu Ta’āla ‘anhā, beliau mengantarkan Nabi ﷺ kepada Waraqah bin Naufal, seorang yang shālih yang mampu memberi nashihat.

Ketiga : Orang yang selalu melakukan kebaikan karena Allāh Subhānahu wa Ta’āla niscaya Allāh tidak akan menghinakan dia selamanya. Ini adalah sunnatullāh yang tidak akan mungkin berubah. Orang yang bersosialisasi, bergaul dan berinteraksi karena Allāh, bukan karena cari muka atau perhatian atau pujian, maka Allāh tidak akan pernah menghinakan dia.

Bahkan Khadījah menashihati Nabi dengan mengatakan:

كَلاَّ أَبْشِرْ فَوَاللهِ لاَ يُخْزِيْكَ اللهُ أَبَدًا فَوَاللهِ إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمِ وَتَصْدُقُ الْحَدِيْثَ وَتَحْمِلُ الْكَلَّ وَتَكْسِبُ الْمَعْدُوْمَ وَتَقْرِي الضَّيْفَ وَتُعِيْنُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ

“Sekali-kali tidak, bergembiralah! Demi Allah sesungguhnya Allah selamanya tidak akan pernah menghinakanmu. Demi Allah, sungguh engkau telah menyambung tali silaturahmi, jujur dalam berkata, membantu orang yang tidak bisa mandiri, engkau menolong orang miskin, memuliakan (menjamu) tamu, dan menolong orang-orang yang terkena musibah.” (HR. Al-Bukhari I/4 no. 3 dan Muslim I/139 no. 160)

Karena itu, orang yang kehidupannya penuh dengan membantu orang lain, dia tidak akan dihinakan oleh Allāh, dengan syarat dia membantu dengan ikhlash.

Rasūlullāh ﷺ bersabda dalam haditsnya:

عن أبي أمامة رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : صَنَائِعُ الْمَعْرُوفِ تَقِي مَصَارِعَ السُّوءِ ، وَصَدَقَةُ السِّرِّ تُطْفِئُ غَضَبَ الرَّبِّ ، وَصِلَةُ الرَّحِمِ تَزِيدُ فِي الْعُمُر

Artinya: “Abu Umamah Al Bahily radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah ﷺ bersabda: “Perbuatan kebaikan akan mencegah kejadian buruk dan sedekah yang tersembunyi akan memadamkan kemurkaan Rabb serta menyambung hubungan silaturahim dapat menambah umur.” (HR. Ath Thabrani dan dihasankan oleh Al Albani di dalam kitab Shahih Al Jami’, no, 3797)

Para ulama mengatakan “Barangsiapa yang ingin husnul khātimah hendaknya dia berbuat baik kepada orang lain agar Allāh anugerahkan kepadanya husnul khātimah.”

Keempat : Kisah ini juga menjadi dalil bolehnya memuji orang lain jika ada maslahatnya. Karena Khadijah memuji Nabi ﷺ. Imām Nawawi ‘alayhissalām berkata :

وَفِيهِ مَدْحُ الْإِنْسَانِ فِي وَجْهِهِ فِي بَعْضِ الْأَحْوَالِ لِمَصْلَحَةٍ

“Hadits ini menunjukan bolehnya memuji seseorang di hadapannya dalam sebagian keadaan karena ada kemaslahatan.” (Al-Minhaaj Syarah Shahih Muslim 2/2002)

Namun hukum asal memuji seseorang dihadapannya adalah haram,

عَنْ أَبِي مَعْمَرٍ، قَالَ: قَامَ رَجُلٌ يُثْنِي عَلَى أَمِيرٍ مِنَ الْأُمَرَاءِ، فَجَعَلَ الْمِقْدَادُ يَحْثِي عَلَيْهِ التُّرَابَ، وَقَالَ: «أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنْ نَحْثِيَ فِي وُجُوهِ الْمَدَّاحِينَ التُّرَابَ»

Dari Abu Ma’mar ia berkata, “Seseorang berdiri sambil memuji salah seorang pemimpin dari para pemimpin, tiba-tiba al-Miqdaad menaburkan tanah kepadanya, dan berkata, “Rasulullah ﷺ memerintahkan kami untuk menaburkan tanah ke wajah-wajah orang-orang yang tukang memuji.” (HR Muslim no 3002)[8]

Dalam riwayat yang lain Nabi berkata:

إِذَا رَأَيْتُمُ الْمَدَّاحِينَ، فَاحْثُوا فِي وُجُوهِهِمِ التُّرَابَ

“Jika kalian melihat orang-orang yang tukang memuji maka taburkanlah tanah ke wajah mereka.” (HR Muslim no 3002)

Nabi juga bersabda:

ذَبْحُ الرَّجُلِ أَنْ تُزَكِّيَهُ فِي وَجْهِهِ

“Menyembelih seseorang adalah engkau memujinya di hadapannya.” (dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jaami’ no 3427)

Dari Abu Bakrah ia berkata :

أَنَّ رَجُلًا ذُكِرَ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَثْنَى عَلَيْهِ رَجُلٌ خَيْرًا، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” وَيْحَكَ، قَطَعْتَ عُنُقَ صَاحِبِكَ – يَقُولُهُ مِرَارًا – إِنْ كَانَ أَحَدُكُمْ مَادِحًا لاَ مَحَالَةَ فَلْيَقُلْ: أَحْسِبُ كَذَا وَكَذَا، إِنْ كَانَ يُرَى أَنَّهُ كَذَلِكَ، وَحَسِيبُهُ اللَّهُ، وَلاَ يُزَكِّي عَلَى اللَّهِ أَحَدًا

“Ada seseorang yang disebutkan di sisi Nabi ﷺ, kemudian ada seseorang yang memuji orang tersebut. Maka Nabi berkata, “Celaka engkau, engkau telah memotong leher temanmu” -beliau mengucapkannya berulang-ulang-. “Jika salah seorang dari kalian harus memuji temannya maka hendaknya ia berkata: Menurutku si Fulan demikian, sesungguhnya ia terlihat (dzahirnya) demikian, dan Allah yang mengisabnya, dan aku tidak akan mendahului Allah dalam merekomendasi seseorang.” (HR al-Bukhari no 6061 dan Muslim no 3000)

Dari Abu Musa al-Asy’ari ia berkata :

سَمِعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا يُثْنِي عَلَى رَجُلٍ وَيُطْرِيهِ فِي مَدْحِهِ، فَقَالَ: «أَهْلَكْتُمْ – أَوْ قَطَعْتُمْ – ظَهَرَ الرَّجُلِ»

Nabi ﷺ mendengar seseorang memuji seseorang yang lain namun ia berlebih-lebihan dalam memujinya, maka Nabi berkata, “Kalian telah membinasakannya (atau Nabi berkata : Kalian telah memotong punggung sang lelaki”) (HR Al-Bukhari no 2663)

Ini menunjukkan bahwa pujian itu bisa membahayakan. Seseorang bisa menjatuhkan orang lain lantaran pujian. Betapa banyak orang yang awalnya ikhlash, namun tatkala dipuji berubahlah hatinya. Ikhlash yang selama ini dia kumpulkan dan bina menjadi rusak gara-gara pujian. Oleh karena itu, banyak orang yang menjadi rusak karena pujian.

Di sisi lain, kita boleh memuji seseorang, sebagaimana hadīts tentang pujian Khadījah terhadap suaminya. Menurut para ulama, diperkenankan memuji jika ada mashlahatnya. Contohnya orang yang sedang “jatuh” maka saat itu kita puji dia untuk membangkitkan kepercayaan dirinya. Demikian juga tatkala ada seseorang yang dijatuhkan tanpa hak, lalu kita ingin menjelasan kebaikan orang tersebut dalam rangka membela harga dirinya maka ini tidaklah mengapa. (lihat At-Tanwiir Syar al-Jaami’ Ash-Shogiir, As-Shon’aani 6/164). Selama ada mashlahatnya, maka pujian itu diperbolehkan, asal tidak berlebihan dan sesuai dengan kenyataan yang ada.

An-Nawawi berkata :

ذَكَرَ مُسْلِمٌ فِي هَذَا الْبَابِ الْأَحَادِيثَ الْوَارِدَةَ فِي النَّهْيِ عَنِ الْمَدْحِ وَقَدْ جَاءَتْ أَحَادِيثُ كَثِيرَةٌ فِي الصَّحِيحَيْنِ بِالْمَدْحِ فِي الْوَجْهِ قَالَ الْعُلَمَاءُ وَطَرِيقُ الْجَمْعِ بَيْنَهَا أَنَّ النَّهْيَ مَحْمُولٌ عَلَى الْمُجَازَفَةِ فِي الْمَدْحِ وَالزِّيَادَةِ فِي الْأَوْصَافِ أَوْ عَلَى مَنْ يُخَافُ عَلَيْهِ فِتْنَةٌ مِنْ إِعْجَابٍ وَنَحْوِهِ إِذَا سَمِعَ الْمَدْحَ وأما من لايخاف عَلَيْهِ ذَلِكَ لِكَمَالِ تَقْوَاهُ وَرُسُوخِ عَقْلِهِ وَمَعْرِفَتِهِ فَلَا نَهْيَ فِي مَدْحِهِ فِي وَجْهِهِ إِذَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ مُجَازَفَةٌ بَلْ إِنْ كَانَ يَحْصُلُ بِذَلِكَ مَصْلَحَةٌ كَنَشَطِهِ لِلْخَيْرِ وَالِازْدِيَادِ مِنْهُ أَوِ الدَّوَامِ عَلَيْهِ أَوِ الِاقْتِدَاءِ بِهِ كَانَ مستحبا والله أعلم

“Al-Imam Muslim dalam bab ini menyebutkan hadits-hadits yang melarang pujian. Telah datang hadits-hadits yang banyak -dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim- tentang bolehnya memuji di hadapan orang yang dipuji. Para ulama berkata: Jalan mengkompromikannya adalah larangan memuji dibawakan kepada pujian yang mengada-ada, atau pujian yang berlebihan dalam mensifati, atau pujian terhadap orang yang dikhawatirkan terfinah dengan ujub dan yang semisalnya jika ia mendengar pujian.

Adapun orang yang tidak dikhawatirkan padanya hal-hal tersebut karena sempurnanya ketakwaannya atau kuatnya akalnya dan makrifatnya, maka tidak terlarang untuk memujinya di hadapannya jika pujian tersebut tidak mengada-ada. Bahkan jika dengan demikian bisa menimbulkan kemaslahatan seperti menjadikannya semangat dalam melakukan kebajikan atau semakin semangat dalam kebajikan atau semakin kontinyu (istiqamah) dalam kebaikan atau agar bisa diteladani maka hukum memuji tersebut menjadi mustahab/dianjurkan.” (Al-Minhaaj Syarah Shahih Muslim 18/126)

Yang menyedihkan sering kita mendapati para ahlul batil saling memuji diantara mereka untuk melariskan kebatilan mereka, sementara para pembela kebenaran terkadang ragu untuk menyokong dan mendukung saudaranya yang juga sedang berjuang membela kebenaran, bahkan terkadang sebagian mereka menjatuhkan sebagian yang lain. Wallahul musta’aan.

Kelima : Dakwah kebenaran itu pasti selalu memiliki musuh. Saat Rasūlullāh ﷺ bertanya “Apakah aku akan dimusuhi?”, maka kata Waraqah Bin Naufal “Tidak ada seorang pun yang datang dengan seperti apa yang kau bawa, kecuali akan dimusuhi.” Maka suatu hal yang mustahil jika dalam berdakwah akan selalu mulus.

Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا مِّنَالْمُجْرِمِينَ ۗ

“Dan demikianlah Kami jadikan bagi setiap seorang Nabi musuh dari orang-orang yang jahat.” (QS Al-Furqān : 31)

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا

“Dan demikianlah Kami jadikan bagi setiap Nabi musuh-musuh yang terdiri dari syaithān-syaithān manusia dan jin, mereka saling membisikkan di antara mereka perkataan-perkataan yang indah.” (QS Al-An’ām : 112)

Yaitu, perkataan yang indah untuk menjatuhkan seorang Nabi. Apabila Rasūlullāh ﷺ yang begitu lembut, berakhlaq mulia, yang santun dan memiliki bahasa yang indah dalam menyampaikan, tetap saja dimusuhi, lantas bagaimana kita yang kerap kali bersikap kasar dan tidak sabar. Jelas lebih mudah untuk dimusuhi.

Oleh karena itu, Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:

وَعِبَادُ الرَّحْمَٰنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ

“Adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan, “Salam”. (QS Al-Furqān : 63)

Menurut sebagian ulama, ayat di atas merupakan dalil bahwa pasti ada orang-orang bodoh yang akan menghina di setiap waktu dan zaman.

Allāh Subhānahu wa Ta’āla juga berfirman:

وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al ‘Ashr: 1-3).

Apabila seseorang itu telah menyampaikan kebenaran, maka konsekuensinya dia akan mendapatkan gangguan. Untuk itulah, ayat setelahnya Allāh mengatakan وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ. (saling berwasiatlah di dalam kesabaran)

Perhatikan pula ucapan Luqmān kepada putranya:

يَا بُنَيَّ أَقِمْ الصَّلاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنْ الْمُنكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ

“Wahai putraku, dirikanlah shalat, serulah kepada kebaikan dan cegahlah kemungkaran dan sabarlah atas apa yang menimpamu.” (QS Luqmān : 17)

Orang yang beramar ma’ruf nahi munkar pasti akan mengalami gangguan. Karena dia sedang menahan syahwat manusia. Sehingga amar ma’ruf nahi munkar butuh perjuangan dan harus memperhatikan mashlahah dan mudharatnya, tidak semua orang bisa menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.

Keenam : Dalam riwayat lain disebutkan, Waraqah berkata kepada Khadijah,

لَتُكَذِّبَنَّهُ وَلَتُؤْذِيَنَّهُ وَلَتُخْرِجَنَّهُ

”Sungguh kaumnya akan mendustakan dia (Muhammad), Sungguh kaumnya akan menyakiti dia, Sungguh kaumnya akan mengusir dia” (Ini adalah riwayat Ibnu Ishaaq, sebagaimana disebutkan oleh al-‘Iraqi dalam Tarh At-Tatsrib fii Syarh At-Taqrib, 4/196)

As-Suhaili berkata,

فِي هَذَا دَلِيلٌ عَلَى حُبِّ الْوَطَنِ وَشِدَّةِ مُفَارَقَتِهِ عَلَى النَّفْسِ فَإِنَّهُ قَالَ لَهُ «لَتُكَذِّبَنَّهُ» فَلَمْ يَقُلْ شَيْئًا ثُمَّ قَالَ «وَلَتُؤْذِيَنَّهُ» فَلَمْ يَقُلْ لَهُ شَيْئًا ثُمَّ قَالَ «وَلَتُخْرِجَنَّهُ» ، فَقَالَ أَوَ مُخْرِجِيَّ هُمْ قَالَ وَأَيْضًا فَإِنَّهُ حَرَمُ اللَّهِ وَجِوَارُ بَيْتِهِ وَبَلْدَةُ أَبِيهِ إسْمَاعِيلَ؛ فَلِذَلِكَ تَحَرَّكَتْ نَفْسُهُ عِنْدَ ذِكْرِ الْخُرُوجِ مِنْهُ مَا لَمْ تَتَحَرَّكْ قَبْلَ ذَلِكَ

”Ini adalah dalil akan kecintaan terhadap kampung halaman dan beratnya jiwa untuk berpisah dari kampung halaman. Karena sewaktu Waraqah berkata kepada beliau, “Kaumnya (Quraisy) akan mendustakannya” maka Rasulullah tidak berkomentar apapun. Kemudian sewaktu dikatakan “Kaumnya akan menyakitinya” Rasulullah juga tidak berkomentar apapun. Namun saat Waraqah berkata, “Kaumnya akan mengusirnya”, maka Nabi berkata, “Apakah mereka akan mengusirku?” Terlebih lagi Mekah adalah tanah Haram, tempat ka’bah Allah, dan negeri nenek moyangnya Isma’il. Karenanya jiwa Nabi tergerak/terusik tatkala dikatakan ia akan diusir dari kampung halamannya, padahal sebelumnya jiwanya tidak terusik.” (Dinukil oleh al-‘Iraqi dalam Tarh At-Tatsrib fii Syarh At-Taqrib, 4/196)

Rasulullah heran, mengapa dirinya diusir? Mengapa ia harus pergi dari negerinya? Sementara Rasulullah mengetahui bahwa orang-orang menghormati beliau. Beliau adalah cucu dari Abdul Mutthalib, pimpinan orang Quraisy, Nabi juga terkenal sebagai orang yang amanah dan dipuji oleh orang-orang Quraisy. Waraqah menjawab, ”benar, mereka akan mengusirmu, tidak seorangpun yang datang, seperti yang apa kau bawa yaitu wahyu dari Allah, kecuali akan diusir.” Waraqah melanjutkan, ”Seandainya, aku masih hidup saat engkau akan diusir, niscaya aku akan menolongmu dengan pertolongan yang kuat.” Tidak lama kemudian, Waraqah bin Naufal meninggal, dan wahyu pun terputus (tidak turun wahyu).

Ini juga menunjukan beratnya seseorang meninggalkan negerinya. Saat Rasulullah ﷺ akan meninggalkan kota mekkah, beliau berkata

مَا أَطْيَبَكِ مِنْ بَلَدٍ وَأَحَبَّكِ إِلَيَّ وَلَوْلَا أَنَّ قَوْمِي أَخْرَجُونِي مِنْكِ مَا سَكَنْتُ غَيْرَكِ

“Betapa baiknya engkau (wahai kota Mekah), dan betapa aku mencintaimu. Kalau bukan karena kaumku mengusirku darimu tentu aku tidak akan tinggal di kota selain engkau.” (HR At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albani)

وَاللَّهِ إِنَّكِ لَخَيْرُ أَرْضِ اللَّهِ وَأَحَبُّ أَرْضِ اللَّهِ إِلَى اللَّهِ وَلَوْلَا أَنِّي أُخْرِجْتُ مِنْكِ مَا خرجْتُ

Demi Allah, engkaulah bagian bumi Allah yang paling baik dan paling aku cintai. Andai kata, aku tidak diusir oleh kaumku, aku tak akan meninggalkanmu, wahai Makkah.” (HR At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Al-Albani)

Allah subhanahu wata’ala menguji Rasulullah ﷺ dengan meninggalkan kampungnya. Tatakala Nabi dikatakan akan didustai maka Nabi diam, akan disakiti Nabi pun diam, tetapi saat dikatakan bahwa beliau akan diusir, barulah beliau tergerak dan heran. Hal ini disebabkan karena meninggalkan kampung halaman adalah perkara yang berat. Oleh karena itu, kaum Muhajirin mendapatkan keistimewaan lebih dibanding kaum anshar. Karena Kaum Muhajirin mendapaatkan cobaan lebih berat yaitu meninggalkan kampung halaman.

Kita mendapatkan kenikmatan berbangsa dan bertanah air di negeri yang kita cintai ini. Banyak saudara-saudara kita yang tersiksa di negeri nya bahkan terusir dari negerinya. Jangan sampai kita menggangu keamanan di negara kita, mari berusaha menjaga stabilitas keamanan di negeri kita. Karena bila keamanan sudah terganggu (seperti pemberontakan, revolusi) maka berhati-hatilah. Yang terjadi adalah dakwah akan menjadi susah, ekonomi menjadi susah dan mencari nafkah pun akan susah. Bila hal ini terjadi maka orang-orang kafirlah yang akan senang karena akan punya kesempatan untuk menguasai negeri kita. Mari kita jaga keamanan negeri kita, jangan sampai kita terusir atau tidak merasa tinggal di negeri kita sendiri. Negeri kita ini diraih dengan perjuangan dan kalimat “Allahu Akbar”, para pahlawan kita adalah mayoritas orang Islam yang mengusir penjajah. Mari kita jaga Negeri kita ini.

Ketujuh: Waraqah bin Naufal adalah lelaki yang pertama masuk Islam sebelum Nabi berdakwah, sedangkan setelah berdakwah, lelaki pertama adalah Abu Bakar radiyallahu anhu. Bukti Waraqah telah masuk Islam adalah saat berkata, ”sungguh, bila aku masih muda saat engkau sedang diusir, niscaya aku akan menolong engkau dengan pertolongan yang kuat.” Waraqah Muslim dan beriman kepada Nabi serta ada dalil yang menyatakan bahwa beliau masuk surga. Ketika Waraqah wafat Rasulullah ﷺ bersabda,

لا تَسبُّوا ورقةَ بنَ نوفلٍ، فإنِّي رأيتُ له جَنةً أو جَنتينِ

“Jangan kalian cela Waraqah bin Naufal. Sesungguhnya aku melihat dia memiliki satu atau dua taman (di surga).” (HR. al-Hakim 4211. Dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam ash-Shahihah 405).

Kedelapan: Menyebutkan aib seseorang bukan dalam rangka mencela bukanlah ghibah. Sebagaimana di hadits turunnya wahyu ini disebutkan bahwa Waraqah sudah tua dan buta. Hal ini bukanlah Ghibah karena bermaksud untuk menjelaskan bukan untuk mencela. Permisalan yang lain, di suatu tempat ada dua orang yang bernama Joko, yaitu Joko kurus dan gemuk. Karena maksudnya adalah untuk menjelaskan dan bukan mencela, maka hal ini tidak dikategorikan ghibah.

Kesembilan : Diantara dalil bahwasanya Al-Qurān benar-benar datang dari Allāh Subhānahu wa Ta’āla yaitu dalam surat Al-‘Alaq, yaitu:

الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (٤)

“Yang mengajarkan dengan pena.” (QS Al-‘Alaq : 4)

Sementara Rasūlullāh ﷺ tidak bisa baca dan tulis. Orang-orang Arab tahu bahwa Rasūlullāh ﷺ tidak bisa membaca dan menulis, namun beliau membawakan ayat yang intinya disuruh membaca dan disuruh menulis. Hal ini menunjukkan bahwa Al-Qurān bukan dari Nabi ﷺ.

Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman :

وَمَا كُنْت تَتْلُو مِنْ قَبْلِهِ مِنْ كِتَاب وَلَا تَخُطّهُ بِيَمِينِك إِذًا لَارْتَابَ الْمُبْطِلُونَ

“Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al-Qurān) sesuatu Kitab pun, dan kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; andai kata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang (ahli bathil) yang mengingkari (mu).” (Al-‘Ankabūt 48)

Wahyu Terputus

Malaikat Jibrīl sempat tidak datang lagi kepada Rasūlullāh ﷺ. Wahyu sempat terputus, ada yang mengatakan 3 hari atau 40 hari, sementara Rasūlullāh ﷺ merasa rindu ingin bertemu kembali dengan malaikat Jibrīl. Maka Rasūlullāh ﷺ kembali ke gua Hirā namun beliau tidak bertemu dengan malaikat Jibrīl.

Di sini ada suatu riwayat yang sering dijadikan dalil oleh orang-orang Orientalis (Nashrani) dan orang-orang Syi’ah untuk mencela Islam, disebutkan riwayatnya dalam Shahih Al-Bukhari. Karena dalam riwayat tersebut disebutkan bahwa Nabi ingin melemparkan dirinya dari puncak gunung (gua Hirā), seakan-akan ingin bunuh diri tatkala malaikat Jibrīl tidak datang-datang.

Riwayat tersebut :

Az-Zuhri (yaitu seorang tabi’in yang meriwayatkan dari ‘Urwah dari Aisyah) berkata :

وَفَتَرَ الوَحْيُ فَتْرَةً حَتَّى حَزِنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فِيمَا بَلَغَنَا، حُزْنًا غَدَا مِنْهُ مِرَارًا كَيْ يَتَرَدَّى مِنْ رُءُوسِ شَوَاهِقِ الجِبَالِ، فَكُلَّمَا أَوْفَى بِذِرْوَةِ جَبَلٍ لِكَيْ يُلْقِيَ مِنْهُ نَفْسَهُ تَبَدَّى لَهُ جِبْرِيلُ، فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، إِنَّكَ رَسُولُ اللَّهِ حَقًّا، فَيَسْكُنُ لِذَلِكَ جَأْشُهُ، وَتَقِرُّ نَفْسُهُ، فَيَرْجِعُ، فَإِذَا طَالَتْ عَلَيْهِ فَتْرَةُ الوَحْيِ غَدَا لِمِثْلِ ذَلِكَ، فَإِذَا أَوْفَى بِذِرْوَةِ جَبَلٍ تَبَدَّى لَهُ جِبْرِيلُ فَقَالَ لَهُ مِثْلَ ذَلِكَ

“Dan wahyu pun terputus (tertunda turunnya) hingga Rasulullah ﷺ merasa sedih -sebagaimana yang sampai kepada kami- yaitu begitu sangat sedihnya, hingga beliau sering pergi di siang hari ke puncak gunung untuk menjatuhkan dirinya dari ujung puncak-puncak gunung. Setiap kali beliau sudah sampai di ujung puncak gunung untuk melemparkan dirinya maka Jibril pun muncul padanya lalu berkata, “Wahai Muhammad! Sesungguhnya engkau adalah utusan Allah yang benar.” Maka tenanglah kegoncangannya dan tenanglah jiwanya, maka iapun kembali. Jika terputusnya wahyu lama maka iapun pergi untuk melakukan tindakan yang sama. Dan jika beliau sudah tiba di ujung puncak gunung maka Jibril pun muncul dan berkata kepadanya dengan perkataan yang sama.” (HR Al-Bukhari no 3 dan tambahan Az-Zuhri di no 6982)

Menurut orang-orang Nasrani dan orientalis : “tidak mungkin Nabi berkeinginan bunuh diri?”. Sementara kelompok yang lain, mereka berkata: “Shahih Bukhari rusak, Karena di dalamnya ada riwayat Nabi ﷺ ingin bunuh diri.”

Kelompok yang dimaksud adalah kaum Syi’ah yang memang tidak beriman dengan Shahih Bukhari. Mereka memiliki buku hadits sendiri. Jika mereka menukil dari Shahih Bukhari, ini artinya mereka hanya mencari pendapat yang mendukung pendapat mereka saja.

Maka bantahan terhadap ke-2 golongan di atas adalah:

⑴ Riwayat ini lemah karena dari periwatan Az-Zuhri secara mu’allaq (balaghat Az-Zuhri) -sebagaimana di atas-. Perlu diketahui, bahwa tidak semua hadits yang ada dalam Shahih Bukhari adalah shahih. Ada beberapa hadits yang statusnya mu’allaq (tergantung) atau tanpa sanad lengkap. Para ulama membedakan, ada hadits mu’allaq yang shahih yaitu apabila ada dalam riwayat yang lain sanad yang shahih yang menyambungkan sanad yang mu’allaq tersebut. Kalau ternyata tidak ada sanad yang menyambungkannya (atau ada sanad yang menyambungkannya akan tetapi lemah) maka dihukumi oleh para ulama tidak shahih

⑵ Rasūlullāh ﷺ belum bunuh diri, hanya timbul keinginan dalam dirinya saking sedihnya. Dan ini menunjukkan sifat manusiawinya Rasūlullāh ﷺ. Apalagi di awal-awal menjadi seorang Nabi.

⑶ Menunjukkan bahwa Rasūlullāh ﷺ sejatinya adalah manusia yang ma’shum.

Ma’shum bukan berarti tidak pernah salah, namun ma’shum yaitu ketika beliau salah langsung ditegur atau diingatkan oleh Allāh. Rasūlullāh ﷺ pernah melakukan beberapa kesalahan dan langsung ditegur oleh Allāh, contohnya:

– KetikaRasūlullāh ﷺ mengharamkan madu karena ingin menyenangkan sebagian istrinya. Maka Allāh tegur:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ ۖ تَبْتَغِي مَرْضَاتَ أَزْوَاجِكَ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Wahai Nabi, Mengapa engkau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah bagimu? Engkau ingin menyenangkan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (At-Tahrīm 1)

– Ketika datang ‘Abdullāh bin Ummi Maktum ingin meminta didakwahi oleh Nabi sementara Nabi sedang sibuk mendakwahi pembesar-pembesar Quraisy, maka Nabi pun berpaling dari Ibnu Maktum. Kemudian Allāh menegurnya:

عَبَسَ وَتَوَلَّىٰ أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَىٰ

“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling karena telah datang seorang buta kepadanya.” (QS ‘Abasa : 1-2)

Padahal ‘Abdullah bin Ummi Maktum tidak bisa melihat Rasūlullāh ﷺ bermuka masam karena dia buta, tetapi Allāh tahu bahwa Nabi salah.

(4) Ada riwayat yang shahih tanpa ada kisah Rasūlullāh ﷺ ingin bunuh diri dimana Rasūlullāh ﷺ bersedih dan rindu ingin bertemu dengan malaikat Jibrīl, lantaran ingin mendengar firman Allāh yang begitu indah.

بَيْنَا أَنَا أَمْشِي إِذْ سَمِعْتُ صَوْتًا مِنَ السَّمَاءِ، فَرَفَعْتُ بَصَرِي، فَإِذَا المَلَكُ الَّذِي جَاءَنِي بِحِرَاءٍ جَالِسٌ عَلَى كُرْسِيٍّ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ، فَرُعِبْتُ مِنْهُ، فَرَجَعْتُ فَقُلْتُ: زَمِّلُونِي زَمِّلُونِي ” فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: {يَا أَيُّهَا المُدَّثِّرُ. قُمْ فَأَنْذِرْ} إِلَى قَوْلِهِ {وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ} فَحَمِيَ الوَحْيُ وَتَتَابَعَ

Tatkala sedang berjalan, tiba-tiba saya mendengar suara dari langit, maka saya mengangkat pandanganku. Tiba-tiba saya melihat malaikat yang tadinya bertemu di Gua Hirā sedang duduk diatas kursi antara langit dan bumi. Sayapun takut kepadanya. Kemudian saya pulang kembali bertemu Khadījah, maka aku berkata: “Selimutilah aku!, selimutilah aku !” Maka turunlah ayat berikutnya;

يَا أَيُّهَا المُدَّثِّرُ. قُمْ فَأَنْذِرْ

(Wahai orang yang berselimut, bangunlah dan berilah peringatan !) hingga firmanNya

وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ

(Dan kesyirikan, tinggalkanlah) (QS Al-Muddatstsir : 1-5). Setelah itu wahyu turun terus dan tidak terputus. (HR Al-Bukhari no 4 dari hadits Jabir bin Abdillah Al-Anshari radhiallahu ‘anhu)

Para ulama menyebutkan diantara hikmah terputusnya wahyu adalah :

  • Agar rasa takut Nabi hilang lalu timbul kerinduan pada dirinya untuk kembali mendengarkan wahyu (lihat Fathul Baari 1/27)
  • Untuk menekankan bahwa wahyu itu adalah hak Allah, kapan Allah berkehendak Allah akan menurunkan wahyu, dan jika Allah tidak berkehendak maka Allah tidak akan menurunkan wahyu. (lihat Fiqh as-Siroh, Dr Abdul Karim Zaid hal 133)

Setelah turun ayat قُمْ فَأَنْذِرْ  (Bangunlah dan berilah peringatan!) maka sadarlah Rasūlullāh ﷺ bahwa beliau adalah seorang Rasul. Keanehan-keanehan yang selama ini beliau rasakan sejak kecil hingga dewasa, seperti dibelah dadanya, batu yang memberi salam, dan lain-lain akhirnya terungkap. Beliau sadar bahwa beliau adalah seorang utusan Allah. Ternyata semua itu adalah persiapan yang dipersiapkan pada dirinya untuk menjadi seorang Rasul. Setelah turun ayat-ayat ini maka Rasūlullāh ﷺ memulai dakwahnya.

==============

Footnote:

[1] Jika ada yang bertanya, bukankah ‘Āisyah tidak bertemu dengan kejadian tersebut (yaitu turunnya Wahyu pertama kali), bahkan mungkin beliau belum lahir. Maka dijawab, bahwa para ulama ahlul hadits telah sepakat, apabila seorang shahābat meriwayatkan suatu hadits tentang peristiwa yang dia tidak mengalaminya sendiri maka hadits tersebut tetap dianggap hadits yang shahīh (selama sanadnya juga shahih). Karena shahābat tersebut bisa saja mendengar Nabi bercerita tentang masa lalunya, atau sahabat tersebut mendengar dari shahābat yang lain yang menghadiri peristiwa tersebut.

‘Āisyah radhiyallāhu ‘anhā meskipun tidak mendapati zaman turunnya wahyu, akan tetapi sangat mungkin beliau mengetahuinya dan mendengarkan kisah tersebut langsung dari suaminya, Nabi Muhammad ﷺ.

[2] Dan ini adalah pendapat yang dipilih oleh Al-Alusi dalam tafsirnya. Ia berkata :

وفسر التَّحَنُّثُ بالتَّحَنُّف أي اتباع الحنيفية وهي دين إبراهيم عليه الصلاة والسلام، والفاء تبدل ثاء في كثير من كلامهم … والذي ينبغي أن يرجح كون ذلك من شرع إبراهيم عليه السلام لأنه من ذريته عليهما الصلاة والسلام وقد كلفت العرب بدينه

“Dan التَّحَنُّثُ  at-Tahannuts ditafsirkan dengan التَّحَنُّف  yaitu mengikuti al-Hanifiyah yaitu agama Ibrahim ‘alahis salam. Huruf ف sering diganti dengan huruf  ثdalam bahasa Arab. Dan yang hendaknya dikuatkan adalah Nabi beribadah dengan syari’at Nabi terdahulu yaitu syari’at Nabi Ibrahim ‘alaihis salam karena Nabi Muhammad termasuk keturunan Nabi Ibrahim, dan orang-orang Arab telah dibebani untuk beribadah dengan agama Nabi Ibrahim.” (Ruuh al-Ma’aani 13/58)

[3] Ibnu Sina berkata,

إنّ النّبي بما له من قوة قدسية يستطيع أن يتصل بالملك، ولأنّ الملك عقل مجرد، والعقل لا يستطيع أن يدرك الأشياء إلاّ مجردة عن الزمان، فإنّ الوحي في هذه الحالة يكون عبارة عن إلقاء الشيء إلى النّبي بلا زمان، وذلك بواسطة الملك، فتأتي قوة المخيلة في النّبي فتتلقى هذا الغيب عن العقل الفعّال، وتتصوره بصورة الحروف والأشكال المختلفة. كما تتصور الملك بصورة بشرية. والنّبي لا يصل إلى هذه الحالة إلا بعد استعداده وصفاء نفسه إلى درجة تجعلها أهلاً لذلك.

“Sesungguhnya Nabi dengan kekuatan sucinya ia mampu untuk berkontak dengan malaikat, dan karena malaikat adalah akal yang murni, dan akal tidaklah bisa menangkap perkara-perkara kecuali jika terlepas dari waktu. Karena wahyu dalam kondisi demikian adalah ibarat dari penyampaian sesuatu kepada Nabi tanpa terikat dengan waktu, yaitu dengan perantara malaikat. Maka datanglah kekuatan pengkhayalan pada diri Nabi kemudian ia menerima perkara yang gaib ini dari akal yang aktif, lalu menggambarkan wahyu tersebut dalam bentuk huruf-huruf dan bentuk-bentuk yang beragam, sebagaimana menggambarkan malaikat dalam bentuk manusia. Dan Nabi tidaklah sampai pada kondisi seperti ini kecuali setelah persiapan dan penyucian jiwa hingga pada tingkatan jiwanya siapa untuk hal ini.” (Ar-Risaalah al-‘Arsyiah hal 12)

[4] Ibnu Taimiyyah berkata :

ولهذا كان قولهم في النبوة أنها مكتسبة وأنها فيض يفيض على روح النبي إذا استعدت نفسه لذلك فمن راض نفسه حتى استعدت فاض ذلك عليه وان الملائكة ه

Artikel asli: https://firanda.com/2496-sirah-nabi-21-proses-turunnya-wahyu-pertama-kali.html